Kamis, 19 November 2015

Butak, yang terlupakan


Senja di puncak Gunung Butak


Jika kita menanyakan Gunung Butak kepada orang secara acak, pasti banyak yang tidak mengetahui tentang gunung butak. bahkan warga kota batu yang berada di kaki gunung butak pun, banyak yang tidak mengetahui tentang gunung butak. seperti dikatakan oleh pepatah "tak kenal maka tak sayang", biar kita bisa menyayangi gunung butak, layaknya gunung-gunung lain yang lebih akrab ditelinga kita, ada baiknya kita mengenalkan dulu tentang seluk beluk gunung butak.
Gunung butak merupakan sebuah gunung yang sudah tidak aktif yang terletak di 3 kota, kabupaten blitar, kabupaten Malang dan Kota Batu. Dengan tinggi hanya 2868 mdpl, namanya seakan tenggelam oleh gunung-gunung yang lebih tinggi yang banyak bertebaran di Malang. Bahkan dengan gunung panderman yang tingginya masih di bawahnya, gunung butak juga masih kalah populer. Namun minimnya popularitas yang dimiliki gunung butak tidak mengurangi eksostisme yang ditawarkan gunung butak.
Terkait popularitas gunung butak, mengingatkan akan pendakian yang pernah dilakukan sekitar delapan tahun yang lalu atau sekitar 2007, dimana saat itu bahkan hanya rombongan kami yang melakukan pendakian gunung butak. Selama perjalan pulang-pergi, kami tidak bertemu dengan mahluk yang bernama manusi, hanya ada beberapa kawanan monyet yang kami temui bergelayut bebas di antara pepohonan, seakan menikmati sekali hidup tanpa terlihat beban hidup yang sedang ditanggungnya. Walaupun tidak sesepi dahulu, saat ini di tahun 2015 masih saja pendaki yang datang ke gunung butak belum seramai gunung-gunung yang lain, dimana sejak heboh film “5 cm” beberapa tahun belakangan ini gunung-gunung sudah selayaknya pasar yang ramai orang hilir mudik.  Kita tidak menyalahkan atau mempermasalahkan gunung-gunung menjadi ramai seperti saat ini, selama orang-orangnya tetap bisa menjaga dan merawat dirinya sendiri dan gunung-gunung yang dikunjungi. Namun yang terjadi saat ini, euforia kegiatan alam bebas tidak di imbangi pengetahuan, kemauan dan persiapan yang maksimal tentang kegiatan alam bebas, akibatnya kita lihat gunung-gunung seperti berubah menjadi TPA yang penuh dengan sampah.  
 
Pos perijinan Gunung Butak-Panderman
 Ada empat jalur yang biasa digunakan untuk melakukan pendakian Gunung Butak, pertama jalur desa Semen – Gandusari – Blitar ( via Sirah-Kencong), desa Semen – Gandusari – Blitar ( via Sirah-Kencong), ketiga jalur Desa Gadingkulon-Dau-Malang, dan jalur terakhir dan merupakan jalur yang paling ramai via panderman yang terletak di Kota Batu. Pendakian kali ini menggunakan jalur via panderman Kota Batu. Untuk yang berasal dari luar Malang Raya (Kota dan Kab Malang serta Kota Batu), bila menggunakan kereta api turun di stasiun Malang Kota Baru, dari depan stasiun bisa naik angkot jurusan terminal landungsari, dari terminal landungsari dilanjutkan dengan bus jurusan jombang ataupun kediri, turun di gerbang/gapura desa pesanggrahan kota Batu, dari gerbang/gapura desa pesanggrahan bisa menggunakan ojek sampai pos perijinan yang biasanya buka di hari sabtu atau libur nasional. Karena jalur pendakian gunung butak via panderman tidak terdapat pos-pos layaknya gunung yang lainya, kami menentukan sendiri beberapa titik yang bisa digunakan untuk beristirahat selama perjaanan sekaligus checkpoin perjalanan.

Pertigaan ladang penduduk dan hutan
 
Batas Vegetasi
Sebagai titik penanda pertama sebagai target perjalanan kali ini, ditentukan batas antara ladang penduduk dan hutan, dimana disana terdapat sebuah pertigaan dan sedikit tanah lapang sehingga pas di gunakan sebagai checkpoin awal. Untuk mencapai chekcpoin pertama, medan yang dilalui sebagian besar melewati ladang penduduk yang sudah jelas jalanya namun banyak percabangan baik ke arah gunung panderman maupun ladang penduduk yang sedikit membingungkan bagi yang belum pernah kesana, jadi perlu hati-hati dan diperhatikan petunjuk arah yang sudah dipasang saat ini. Perjalanan di awali di pos perijinan yang terletak di depan rumah paling unjung di desa pesanggrahan yang sudah berbatasan dengan ladang. Disana kita bisa mengurus perijinan dengan membayar restribusi sebesar IDR7000. Dari pos perijinan medan yang dihadapi sudah mulai menanjak dengan melewati medan yang sudah dipasang batako sampai dengan adanya percabangan dengan jalur menuju gunung panderman. Selepas itu jalanya berganti dengan tanah tapi sedikit lebih landai, namun di musim kemarau akan sangat berdebu (disarankan membawa masker).  Perlu diperhatikan, setelah memasuki jalan tanh,  kita akan menghadapi beberapa percabangan, dimana ada tiga percabangan yang   perlu menjadi perhatian agar tidak salah mengambil jalan. Percabangan pertama kita harus mengambil jalur yang sebelah kiri, karena jalur yang kanan akan menuju ke ladang penduduk, tidak lama setelah itu ada percabangan kedua dimana kita harus mengambil jalur sebelah kanan karena jalur sebelah kiri menuju gunung panderman, sementara pertigaan ketiga adalah checkpoin pertama yang kita pilih, selepas percabangan ini kita akan memasuki kawasan hutan dengan jalur yang lebih jelas. Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak dari pos perijinan sampai batas ladang dan hutan sekitar 55 menit.

Pertigaan Sumber air
 
pertigaan sumber air
Dari pertigaan batas ladang dan hutan kita memilih jalur sebelah kanan yang menurun, namun jangan senang dahulu karena turunnya hanya sebentar setelah itu langsung di sambut dengan tanjakan yang cukup untuk membuat berkeringatn dan ngos-ngosan (karena setelah ini ada tanjakan yang lebih kejam dan sadis). Di jalur ini kita seperti memasuki gua, karena sepanjang jalur kita harus melewati semak belukar yang lebat sehingga sinar matahari pun sulit untuk menembusnya. Sedikit keuntungan dari jalur ini menjadi lebih sejuk dari sebelumnya karena tertutup semak belukar.  Dibutuhkan waktu 30 menit untuk sampai di pertigaan sumber air dari pertigaan batas ladang dan hutan. Perlu diperhatikan lagi, dari pertigaan ini harus memilih jalur sebelah kanan karena jalur terus menuju sungai tempat pipa sumber air penduduk berasal. Dan disinilan delapan tahun yang lalu kita pernah tersesat (untuk saat ini jalur lebih jelas, jadi mungkin bisa meminimalisir peristiwa itu terjadi).

Tanjakan Patah Hati

Tanjakan Patah Hati



Bila di gunung semeru kita mengenal tanjakan cinta dengan mitosnya bila kita bisa melaluinya tanpa berhenti dan menoleh kebelakang dengan memikirkan seseorang yang kita cintai, maka kita akan berjodoh denganya (mitos mungkin tetaplah mitos). Di Gunung Butak ada tanjakan yang namanya berkebalikan dengan tanjakan cinta, tanjakan patah hati namanya. Diberi nama tanjakan patah hati karena setelah melalui tanjakan ini, rasa lelah, marah dan putus asa seperti layaknya patah hati (bukan pengalaman). Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk melalui tanjakan ini, dengan medan yang sepenuhnya menanjak sehingga benar-benar membuat orang patah hati, di tambah lagi bila melaluinya diberi “bonus” debu-debu beterbangan. Selepas tanjakan patah hati ada sedikit lahan datar yang bisa digunakan sekedar istirahat setelah mengalami “patah hati”. Secara keseluruhan dari pertigaan sumber air menuju kesini dibutuhkan waktu 35 menit.

Pertigaan jalur dau
Pertigaan Dau
Puas disiksa dengan tanjakan sampai patah hati dari awal pendakian, akhirnya kita akan menemui “bonus” yang tidak berupa materi, tapi disini lebih kita butuhkan daripada uang, medan yang landai. Selepas tanjakan patah hati, medan yang akan dilalui tidak seberat sebelumnya, jalan yang landai dengan rindang pepohonan. Walaupu jalur yang dilalui tidak terlalu berat, tapi jarak dari tanjakan patah hati menuju pertigaan pertemuan dengan jalur dau lumayan panjang, dibutuhkan waktu sekitar 75 menit untuk sampai. Di pertigaan ini terdapat sedikit lahan datar yang lumayan luas, mampu menampung 4-5 tenda. Disini juga terdapat sumber air yang bisa diambil, sehingga direkomendasikan juga untuk digunakan untuk mendirikan tenda. Selain di pertigaan ini, sepanjang jalur yang dilalui sebelumya banyak terdapat spot-spot yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda.

Gunung Arjuno dari jalur Gunung Butak
Sabana
 
Sabana Gunung Buthak
Dari pertigaan jalur dau ini sebenarnya dua pertiga jalur pendakian sudah dilalui, dibutuhkan waktu sekitar 2 jam lagi untuk sampai ke puncak. Namun sebelum sampai ke puncak kita akan melalui saban yang luas, dengan sumber air yang besar, sehingga bila tenaga masih mendukung, lebih disarankan untuk mendirikan tenda disini. Sabana gunung butak layaknya ranu kumbolo di gunung semeru, sabana gunung merbabu, dan cikasur gunung aargopuro mempunyai pemandangan yang sangat menawan. Dibutuhkan waktu 105 menit, atau hampir 2 jam untuk sampai di sabana, dengan medan yang komplik, mulai jalur yang landai sampai tanjakan-tanjakan yang membuat kapok untuk naik gunung (tapi anehnya setelah sampai di rumah malah kepingin naik lagi). Pengalaman pendakian kemarin, agar hati-hati dengan kebakaran hutan. Sepanjang jalur antara pertigaan jalur dau sampai sabana 70% terbakar, baik yang sudah padam tinggal menyisahkan bara sampai yang masih berkobar dengan asap menegpul. Kebakaran juga banyak terjadi di jalur yang harus dilalui.
Tenda-Tenda di Sabana Gunung Butak

Summit attack
 
2.868 Mdpl
Kalau biasanya kita melakukan summit attack di pagi hari atau dini hari, disini kita bisa melakukan summit attack pada sore hari untuk melihat matahari tenggelam (sunset). Dibutuhkan waktu 29 menit untuk sampai di puncak gunung butak 2868 mdpl, dengan track sepertiga landai masih dalam komplek sabana dan dua pertiga tanjakan walau tidak seberat tanjakan patah hati. Di puncak gunung butak terdapat dataran yang sedikit luas yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda, luasnya bisa menampung 2-3 tenda.

Puncak Gunung Bhutak
 Pada akhirnya kita akan selalu bisa belajar dari alam, karena alam merupakan sebesar-besarnya misteri yang tidak akan pernah akan kita bisa pecahkan. Dan pelajaran yang di dapat kali ini, kita harus selalu berteman dan menjaga alam, karena bila sampai alam sudah tidak mau berteman dengan kita bencana yang akan kita dapatkan, seperti kabut asap yang melanda hampir seluruh wilayah indonesia kemarin.  Apakah kita baru mau sadar ...

Saat satwa terakhir telah mati,
Saat tetes air terakhir telah mengering,
Saat pohon terakhir telah tumbang,
Mungkin orang baru sadar uang tidak bisa dimakan.

Untuk itu boleh kita menikmati alam, tapi kita harus selalu mejaganya, karena ini alam bukan milik kita, tapi titipan anak cucu kita.